Artikel

Dunia Sosial bernama Coca Cola

Nggak punya unggah-ungguh, nggak punya sopan santun, nggak ngerti adab, dan nggak apa lagi ya?”. Pernyataan seperti ini seringkali kita dengar dari para guru dan orang tua memberikan label pada generasi sekarang. Mungkin sekedar berkelakar tetapi juga bisa semacam ekspresi kegalauan karena sulitnya menghadapi generasi abad informasi.

Saya sependapat dengan paham konstruktivisme bahwa belajar bukan sekedar mekanisme psikologis melainkan juga mekanisme sosial. Anak-anak kita mendapat pengetahuan dari dunia sosial mereka. Musik, Sponsor, Fashion yang saban hari dikonsumsi anak-anak dari media massa adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan sosial anak-anak. Sekolah, pendidikan karakter dan guru ngaji hanya bagian kecil dari proses anak-anak membangun makna. Maka bisa diasumsikan segala perilaku anak-anak yang sering “diluar batas etik” adalah bukti nyata dominasi media massa dalam konstruksi pengetahuan dan karakter generasi Coca Cola.

Bukan Sesi Paling Sempurna

“Sip, Gak Komen Wis!” (bahasa jawa ngoko artinya “Bagus, Tidak Ada Komentar!”). Itulah Kesan pertama mendengar berbagai penuturan dari para peserta Pelatihan Menulis Kreatif memberikan TLC-Dinas Pendidikan Kabupaten Lumajang. Para peserta memberikan penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan penulis kreatif dan hasilnya, sempurna. Karena kata-kata kunci yang diharapkan pemateri dapat terjelaskan semua dalam sesi pemanasan.

Tetapi apakah konsep menulis kreatif ini benar-benar bisa menjadi kebiasaan dalam keseharian para guru? Tentu saya tidak tahu. Saya hanya bisa berharap semoga sesi pemanasan alias adu konsep ini bukan sesi paling sempurna selama dua hari kedepan. Karena banyak pihak berharap kreativitas para guru utamanya dalam hal tulis-menulis bisa menjadi tradisi inovasi bagi peningkatan kualitas pendidikan di Kabupaten Lumajang.

 

Menulis Melepas Ketegangan

Ingin populer, ya. Ingin mendapat income tambahan, ya. Ingin eksis, tentu iya. Tapi setelah mencoba membuat banyak tulisan, mencoba mengirim gagasan itu ke media cetak, meski tidak pernah dimuat, men-share ke beberapa media sosial, saya tidak merasa terpanggil lagi untuk menulis kecuali satu dua alasan.

Pertama, karena sedang mengikuti isu-isu yang berkembang di masyarakat dan ingin sekali mencurahkan gagasan alternatif meski hanya satu paragraf di facebook. Misalnya tulisan terakhir saya setelah mengikuti beberapa kali tayangan TV One tentang sidang kasus kematian Mirna Salihin. Tulisan saya berbunyi, “Kalo nggak ketemu siapa yang naruh sianida dalam kopi, mungkin ketika kopi disajikan ada cicak numpang lewat di atap dan mengeluarkan kotoran. Lha, ternyata kotoran cicak bercampur kafein efeknya setara sianida. Makanya kalo bikin kopi jangan lupa ditutup!”. Paragraf ini banyak membuat orang tertawa dan ingin menyapa saya di facebook. Saya sudah merasa puas. Ada juga tulisan yang lebih serius misalnya komentar saya terhadap pemberlakuan paksa kurikulum pendidikan 2013, pergantian mentri dari M. Nuh ke Pak Anis Baswedan, dan sebagainya. Intinya, kalo nggak segera ditulis bisa membuat saya sulit tidur.

Kedua, kalau saya sampai menulis itu artinya itu sudah menyangkut hajat hidup banyak orang. Misalnya diminta masyarakat membuat deskripsi pelaporan kepada pemangku kebijakan. Bukan karena saya aktif dalam pemberdayaan masyarakat tetapi pemerintah yang selalu mengharuskan pernyataan tertulis jika masyarakat ingin menyampaikan aspirasinya. Bukan juga karena saya memiliki kepakaran dalam hal tulis menulis melainkan kebanyakan masyarakat kita hanya bisa menyampaikan gagasan melalui retorika kalau tidak keburu pakai okol. Sehingga jalan terakhir adalah datang ke tempat saya dan memaksa saya mewujudkan gagasan-gagasan mereka dalam bahasa tulis.

Jadi alasan paling relevan untuk saya jika harus menulis sepertinya adalah untuk MELEPAS KETEGANGAN, baik ketegangan dalam pikiran saya maupun ketegangan sosial yang sering muncul dalam kehidupan di sekitar kita.

 

Di Balik Sangit Kayu Bakar

Oleh: Hidayatullah *)

kayubakar

Foto diatas menggambarkan salah satu budaya petani kebun di sekitar hutan atau pegunungan. Budaya yang sudah tidak lagi bernilai ekonomis dan mulai ditinggalkan sebagai mata pencaharian buruh tani, memotong dan membelah kayu untuk sumber energi rumah tangga. Mengapa banyak buruh tani ogah melirik pekerjaan potong dan belah kayu? Sederhana, hasil yang didapatkan cukup kecil dibandingkan usaha yang dikeluarkan. Salah satu sebab kayu bakar bukan lagi komoditi yang menempati posisi utama sebagai penyuplai kebutuhan energi panas rumah tangga di pedesaan. Elpiji 3 kg telah menggeser peran kayu bakar secara masif dan terstruktur. Ongkos untuk pekerjaan ini semakin ketinggalan jika dibanding hasil pekerjaan lain yang mulai berkembang di lereng Gunung Semeru Selatan, kuli pasir. Bahkan untuk mencari buruh yang mau melakukan pekerjaan belah kayu semakin susah.

Saya termasuk seorang petani meskipun bukan petani murni. Tentu karena saya memiliki lahan meski tidak luas dan mempekerjakan buruh tani meskipun tidak banyak. Persoalan yang mengemuka bagi ‘setengah petani’ seperti saya dengan jumlah tenaga kerja terbatas, kadang harus melakukan beberapa jenis pekerjaan yang dilakukan buruh tani untuk efisiensi. Salah satunya saya memilih belajar memotong dan membelah kayu. Karena saya lebih mengalokasikan buruh tani untuk pekerjaan yang terkait dengan produktifitas hasil komoditi utama. Sedangkan memanfaatkan kayu roboh bukan bagian dari proses budidaya tanaman pokok.

Apa sih untungnya memotong dan membelah kayu? Keuntungan ekonominya boleh disebut nggak ada atau kecil sekali. Saya hanya ingin memberi tafsir baru ide dasar tentang revolusi mental untuk mengimbangi agenda serius pemerintah di bidang pertanian. Meski petani kebun tidak terkait dengan kemandirian pangan tapi menurunnya produk pertanian pangan dan pertanian lainnya perlu menjadi perhatian kita. Fakta menunjukkan berdasarkan sensus penduduk, jumlah orang yang bekerja sebagai petani terus turun dari tahun ke tahun. Bahkan data terbaru dari koran, NTP (Nilai Tukar Petani) atau saya pahami sebagai gengsi profesi petani terus mengalami penurunan angka. Profesi petani bukan pekerjaan yang diinginkan oleh banyak orang dan identik dengan ‘kesengsaraan’. Anak-anak petani mulai melirik pekerjaan yang lebih mudah mendapatkan uang dan seringkali justru berusaha meninggalkan budaya tani.

Program-program pemerintah di bidang pertanian tentu sangat diharapkan tetapi membangun kembali cara berfikir baru bagaimana memaknai budaya kaum tani juga sangat penting. Memotong dan membelah kayu dulu bermakna ekonomis. Ketika hari ini nilai ekonomisnya hilang, bukan berarti nilai sosialnya lenyap. Nilai sosial harus dibangun dan ditumbuhkan agar kecintaan masyarakat terhadap dunia pertanian mampu bersinergi dengan agenda pembangunan di bidang pertanian. Menanam padi, memetik sayur, memanen buah hari ini bukan hanya pekerjaan. Lebih dari itu, menjadi komoditi wisata yang memiliki daya tarik dan nilai edukasi kecintaan kepada profesi petani. Samurai bukan hanya seni bela diri tapi produk budaya yang lahir dari kaum tani pedesaan di Jepang. Semangatnya terus terjaga mengikuti perubahan sosial menuju industrialisasi Jepang. Itulah harapan saya, terus mempertahankan nilai budaya petani melalui pemaknaan kembali. Mari ikuti saya memaknai budaya potong dan belah kayu dengan cara pandang yang mungkin belum pernah kita bayangkan. Memotong dan membelah kayu tentu bukan pekerjaan saya sebagai petani. Tetapi saya sangat berhasrat mengerjakannya karena beberapa alasan sosial.

Pertama, aktifitas ini saya anggap hiburan dan olah raga untuk mempertahankan kebugaran fisik setelah pikiran terforsir pekerjaan kantor. Memotong dan membelah kayu dengan alat seperti tampak pada gambar memerlukan konsentrasi, ketepatan dan kekuatan meksipun tidak mensyaratkan kecepatan seperti tebasan pedang samurai. Gerakan mengayun dengan kekuatan ini akan mengencangkan otot lengan, dada dan perut. Berdasarkan riset, perempuan lebih tertarik dengan laki-laki yang memiliki otot lengan kencang. Artinya, bukan saya ingin merebut hati banyak perempuan, setidaknya aktifitas ini bisa disebut mempertahankan gairah hubungan dengan pasangan. Lebih dari itu, efek pencitraan ini juga saya rasakan dalam pekerjaan. Riset bidang biologi yang pernah saya pahami menjelaskan keterkaitan antara penampilan lengan yang kuat sebagai simbol dominasi secara naluriah. Efek ini saya kira cukup membantu pekerjaan dalam memusatkan perhatian orang lain terhadap penyampaian gagasan. Karena pekerjaan saya berhubungan dengan presentasi.

Kedua, energi panas sangat diperlukan dalam kehidupan rumah tangga apalagi di daerah pegunungan yang relatif bersuhu dingin. Di jaman serba listrik dan elpiji, kayu bakar bukan sumber energi panas yang disukai banyak orang terutama perempuan. Tentu saja karena cara mendapatkan panas dari kayu bakar tidak praktis, lama dan bau sangit yang menempel di badan. Namun panas kayu bakar bukan berarti tidak berguna sama sekali. Masih banyak petani yang menggunakannya untuk memasak dengan kebutuhan panas lebih tinggi dan lebih lama dari yang dihasilkan gas elpiji. Misalnya memasak air atau menanak nasi dengan kapasitas besar. Saya sendiri menggunakannya untuk keperluan terbatas memasak air minum beberapa hari sekali atau air panas untuk keperluan lain. Saya memaknai pekerjaan ini sebagai gaya dan cara bertahan hidup petani, utamanya kaum lelaki karena sudah dianggap tidak ramah untuk perempuan jaman sekarang. Sebagai gaya hidup karena kami sering menggunakan dapur luar tidak saja untuk menyimpan kayu bakar dan tempat pembakarannya tetapi juga ruangan untuk bercengkerama dengan teman sambil menikmati kehangatan dapur kayu dan secangkir kopi. Sebagai cara bertahan karena nilai ekonomis kayu bakar walau bukan sebagai komoditi masih bisa dirasakan yaitu untuk mengurangi konsumsi gas elpiji. Jadi surplus value penggunaan energi panas rumah tangga sebisa mungkin tidak hanya dinikmati oleh Pertamina dan para distributor elpiji, setidaknya petani masih menikmati energi bebas biaya.

Ketiga, upaya memegang kendali atas surplus value ini juga bermakna politis kalau tidak bisa disebut ideologis. Penggunaan kayu bakar sebagai sumber energi tanpa biaya memberi ruang kepada petani untuk tidak sepenuhnya melepaskan kontrol atas biaya energi kepada pihak lain. Karena menurut buku yang pernah saya baca, keterpurukan petani dipicu oleh semakin berkurangnya kontrol mereka atas sejumlah hal mendasar digantikan pihak-pihak diluar dirinya. Misalnya harga komoditi tidak ditentukan ongkos produksi petani melainkan harga pasar, dalam distribusi pupuk kebutuhan para petani sering dikalahkan oleh kepentingan distributor, pengelolaan air di wilayah pertanian sering dibelokkan ke sektor yang terkait pendapatan pemerintah, bahkan gaya hidup dan pilihan politik mudah sekali digoyahkan oleh simbol-simbol modernitas yang tidak relevan.

Semoga dengan tulisan ini banyak pihak menyadari betapa hal-hal kecil dalam kehidupan petani diciptakan bukan tanpa alasan bahkan dicap terbelakang, ndeso, dan patut ditinggalkan. Saya sangat berharap, banyak tulisan untuk memaknai gaya hidup petani semakin meningkatkan kecintaan kita kepada budaya petani. Kegagalan berbagai rezim setelah Pak Harto dalam meningkatkan produktifitas pertanian bukan karena negara mati gaya. Tetapi cara pandang instrumental pemerintah terhadap pertanian dan cara sentuh aparat terhadap budaya petani yang asosial. Semakin hilangnya nilai ekonomi dalam pekerjaan pertanian adalah bagian dari proses perubahan sosial, tapi hilangnya kemampuan memahami budaya kaum tani adalah ancaman bagi daya dukung program-program pemerintah di bidang pertanian.

*) Penulis adalah Guru, Petani dan Pemerhati Perubahan Sosial

 

Menulis Kreatif Tidak Cukup dengan Pelatihan

Pelatihan Penulisan Kreatif TLC (Teacher Learning Center) bersama Dinas Pendidikan Kabupaten Lumajang yang diadakan pada Rabu-Kamis (21-22 September 2016) diikuti oleh 40 guru SMP, SMA dan SMK di Kabupaten Lumajang. Menurut salah satu pemateri, Rini Mujiarti, pelatihan ini sangat bermanfaat bagi guru terutama pada saat guru memenuhi kredit poin kenaikan pangkat pada item penulisan dan publikasi ilmiah. Rini yang pernah meraih berprestasi dalam lomba karya ilmiah guru tingkat propinsi menambahkan, “Kalaupun  belum bisa membuat karya tulis, ya setidaknya pelatihan ini memberi bekal tambahan bagi guru untuk menyusun laporan tertulis tentang pengembangan diri guru”.

Menurut M. Subakri, sebagai pemateri utama, penulisan kreatif memberikan banyak sekali manfaat selain untuk kepentingan keprofesian guru. Narasumber yang juga guru SDN Jambekumbu 01 Pasrujambe tersebut membuktikan sendiri bahwa banyak hal telah dia peroleh dari hasil menulis kreatif. Beragam prestasi tingkat Nasional pun dia sandang seperti Juara Penulisan Blog yang diselenggarakan Guraru.com. Dia memberi pernyataan motivasi, “Apa yang saya sampaikan ini bukan untuk menunjukkan saya lebih pinter, tetapi saya sangat berharap akan tumbuh keinginan yang kuat diantara para guru di Lumajang utamanya yang mengikuti pelatihan agar mulai menulis. Syukur-syukur Bapak Ibu bisa mengikuti kompetisi menulis yang sering diadakan lewat media internet”.

Berdasarkan pengamatan selama pelatihan, para peserta yang sebagian besar ibu-ibu guru terlihat sangat antusias. Namun apakah antusiasme yang tinggi akan dapat memenuhi target pelatihan yang lumayan berat. Mengingat target pelatihan sebagaimana disampaikan oleh Bapak Agus Salim, Kepala Bidang Dikmenum Dinas Pendidikan Kabupaten Lumajang adalah terciptanya komunitas penulis dari kalangan guru-guru di Lumajang. Bahkan dia menyatakan, “Nanti akan saya pantau hasil tulisannya lewat blog komunitas penulis”.

Di sisi lain peserta yang berangkat dari latar belakang beragam tentu memiliki pandangan yang berbeda. Seperti disampaikan oleh Imam Hari Priyono salah satu peserta pelatihan dari SMAN Jatiroto. Menurutnya, target pelatihan terlalu tinggi jika sampai pada terbentuknya blog penulis dimana guru bisa aktif membagikan karya tulisnya secara rutin. Guru Olah Raga tersebut juga menambahkan, “Ini seperti siswa yang ikut ekstrakurikuler olah raga. Kalo hanya ikut ekstra tapi tidak mau menempa latihan-latihan rutin tambahan di rumahnya, ya mana mungkin bisa jadi atlet sungguhan. Paling ya hanya dapat nilai ekstrakurikuler di rapor. Jadi selebihnya tergantung guru masing—masing. Pelatihannya bagus, tapi untuk sampai target yang disampaikan Pak Kabid agak sulit.”

Senada dengan Imam, Mukhlis mengakui bahwa dirinya mengikuti pelatihan penulisan kreatif karena tuntutan untuk mendapatkan sertifikat pelatihan sebagai syarat kenaikan pangkat. Guru PKN SMAN Klakah ini mengatakan, “Saya ikut ini ya pertama untuk mengejar sertifikat, sih. Tapi setidaknya saya mendapatkan wawasan bagaimana menjadi penulis kreatif. Karena selama ini saya punya banyak kendala dalam hal menulis”. Dia menambahkan meskipun belum bisa menulis, dengan pelatihan ini gambaran menyelesaikan hambatan tersebut sudah ada.

Menanggapi kesulitan para peserta pelatihan untuk mencapai target, Dina Ria Fatmawati, salah seorang peserta yang juga panitia pelaksana kegiatan mengakui bahwa menjadikan guru-guru sebagai penulis kreatif tidak mudah. Artinya pelatihan ini memang tidak cukup untuk langsung mencetak para penulis. Guru Kimia SMKN Tempeh tersebut memberikan  solusi mudah bagi para guru yang masih memiliki kendala dalam menulis. Para guru secara mandiri harus mulai membuat tulisan-tulisan kecil apa yang menurutnya menarik baik secara offline di buku harian atau secara online melalui media sosial. Selajutnya tentu tidak boleh malas mengumpulkan tulisan-tulisan ini dalam satu file untuk dipakai sebagai bahan tulisan yang lebih utuh.

Lebih jauh Dina memaparkan bahwa jika proses merangkai ide ini masih belum bisa mengatasi hambatan menulis maka perlu adanya monitoring oleh mentor secara berkelanjutan. “Jadi, kami panitia penyelenggara juga merumuskan tindaklanjut paling mungkin dilakukan dengan daring (dalam jaringan). Kelas pelatihan ini sudah kita wujudkan dalam grup WA di media sosial sehingga para guru bisa terus menyampaikan permasalahannya. Sebaliknya para pemateri atau nara sumber juga terus dapat mendampingi agar calon-calon penulis kreatif ini meningkat motivasi dan kemampuannya”.

Selama satu jam setengah penulis memaparkan tulisan ini sebagai salah satu tugas penulisan reportase dalam pelatihan. Kami menilai bahwa pelatihan ini perlu dikembangkan terus kualitasnya utamanya dalam penyediaan fasilitas internet. Secara kuantitas para guru yang belum mendapat pelatihan serupa juga perlu dilibatkan. Setidaknya satu guru dalam satu sekolah perlu mengikuti pelatihan semacam ini. Jika Dinas Pendidikan Kabupaten Lumajang ingin mencetak para penulis kreatif handal, tentu jawabannya bukan hanya monitoring. (HD,UL)

What's your comment (Apa Komentar Anda)?